Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam
Perkara Perdata
Hukum
pembuktian merupakan bagian yang sangat kompleks dan rumit. Pembuktian
berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu
(presiding event) sebagai suatu kebenaran (truth), meskipun kebenaran yang
dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata bukan kebenaran yang
bersifat absolut tetapi kebenaran yang bersifat relatif.
Merupakan
suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka harus
membuktikannya.Asas ini pun jauh-jauh hari sudah termaktub dalam risalah Umar
Ibn Khattab, dimana dalam risalah tersebut terdapat sebuah kalimat البينةعلىمنادعىواليمينعلىمنأنكر (kewajiban membuktikan dibebankan kepada
Penggugat, dan sumpah bagi yang digugat).Membuktikan artinya mempertimbangkan
secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang
sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.Salah satu alat bukti tersebut
adalah keterangan saksi.
Berdasarkan
pasal 171 HIR, pasal 1970 KUH Perdata, keterangan yang diberikan oleh seorang
saksi di persidangan haruslah berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dan
sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum.Dalam arti kata, keaksian tersebut
berdasarkan penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa
atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para
pihak.
Testimonium De Auditu
adalah keterangan yang diberikan oleh saksi terkait suatu peristiwa, bukan
berdasarkan penglihatan maupun pendengaran langsung, melainkan mendengar dari
orang lain yang disebut juga dengan kesaksian tidak langsung.
Sudikno
Mertokusumo memberikan penjelasan terkait hal ini. Menurutnya testimonium de
auditu adalah keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga. Misalnya pihak
ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara
pernah mengadakan perjanjian hutang piutang, kemudian pihak ketiga tersebut
menceritakannya kepada saksi. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa
ia mendengar dari pihak ketiga dan memberikan keterangan yang diperolehnya dari
pihak ketiga tersebut. Inilah yang disebut testimonium de auditu.Akan tetapi
testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang
didapat secara berpikir (yang bersifat kira-kira).
Bentuk
keterangan demikian dalam Common Law disebut hearsay evidence. Pengertian
testimonium de auditu dengan hearsay witness dalam Common Law, sama-sama
memiliki definisi yang mengandung pengertian berupa keterangan yang diberikan
seseorang yang berisi pernyataan orang lain baik secara verbal, tertulis, atau
dengan cara lain.
Kekuatan Pembuktian Testimonium de
Auditu
Testimonium
de auditu memiliki arti bahwa keterangan yang diberikan saksi bukanlah
keterangan yang asalnya dari peristiwa/kejadian yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri oleh saksi tersebut, namun merupakan keterangan yang diperoleh
saksi dari orang lain. Dengan kata lain, apa yang diucapkan saksi di pengadilan
merupakan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami orang lain namun orang
tersebut tidak bersaksi di pengadilan.
Bagaimana
kekuatan pembuktian testimonium de auditu tersebut?. Dalam ranah hukum perdata
formil dapat dirujuk pasal 171 HIR atau pasal 1907 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata/Burgerlijk Wetboek (BW).
Pasal 171 HIR :
(1) Tiap-tiap kesaksian harus disertai
keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.
(2) Pendapat atau dugaan khusus yang timbul dari pemikiran, tidak
dipandang sebagai kesaksian.
Pasal 1907 BW :
Tiap
kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui
kesaksiannya.Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai
pikiran, bukanlah suatu kesaksian.
Ketentuan
tersebut mengisyaratkan bahwa kesaksian yang diberikan oleh saksi dalam
pengadilan haruslah peristiwa/kejadian yang didengar, dilihat, atau dialami
sendiri oleh saksi, sehingga perlu adanya penjelasan dari saksi tentang peristiwa/kejadian
yang diterangkannya melalui pendengarannya, penglihatannya, atau yang dialami
secara langsung tersebut.Sehingga kesaksian yang diperoleh melalui pemikiran
bukanlah suatu kesaksian. Meskipun demikian, penggunaan Testimonium de Auditu
tidak dilarang untuk dijadikan persangkaan, di mana keterangan saksi yang
diperoleh dari orang lain dapat dianggap sebagai persangkaan. Hal ini dapat
dilihat atau ditemui dalam Mahkamah Agung No. 308 K/Sip/1959 tanggal 11
November 1959.
Pendapat
atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian.
Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium
de auditu tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat
(2) Rbg/1907 BW bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan
(Mahkamah Agung tgl 15-03-1972 No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803
K/Sip/1970). tapi dalam putusan tanggal 11 November 1959 No. 308 K/Sip/1959
Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun testimonium de auditu tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti langsung namun penggunaaannya tidak dilarang
sebagai persangkaan.
Kesaksian Testimonium de Auditu pada
Perkara Perdata (Perkawinan)
Apakah
kesaksian testimonium de auditu dalam hal seperti ini langsung ditolak
mentah-mentah? Diskursus mengenai testimonium de auditu sampai sekarang masih
terjadi dikalangan akademik dan kalangan praktisi antara menerima dan menolak
testimonium de auditu sebagai alat bukti sehingga berakibat tidak ada standar
hukum (law standart) dan upaya unified legal frame work dan unified legal
opinion.
Pada
umumnya testimonium de auditu tidak diperkenankan karena tidak berhubungan
dengan peristiwa yang dialami sendiri, tetapi hakim tetap mempunyai kebebasan
untuk memberikan pendapat bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari pihak
ketiga dapat dianggap sebagai persangkaan.
Pada
perkara perdata (terlebih dalam hal perceraian) Penulis lebih cendrung kepada
pendapat Yahya Harahap, salah satu legenda pakar hukum perdata Indonesia. Dalam
tulisannya beliau berpendapat bahwa:
Pada
umumnya sikap para praktisi hukum yang secara otomatis menolak testimonium de
auditu sebagai alat bukti tanpa adanya analisis dan pertimbangan yang
argumentatif, dengan mengambil contoh Putusan Mahkamah Agung No. 881 K/Pdt/1983
tanggal 18 Agustus 1984 yang menegaskan saksi-saksi yang diajukan penggugat
semuanya terdiri dari de auditu sehingga keterangan yang mereka berikan tidak
sah sebagai alat bukti, Putusan Mahkamah Agung No. 4057 K/Pdt/1986 tanggal 30
April 1988 pada putusan inipun langsung ditolak dengan alasan para saksi
terdiri dari saksi de auditu oleh karena itu tidak memenuhi syarat yang
ditentukan undang-undang sebagai alat bukti, dan Putusan Mahkamah Agung No.
1842 K/Pdt/1984 tanggal 17 Oktober 1985 karena ketiga orang saksi yang diajukan
penggugat adalah de auditu sehingga tidak memenuhi syarat sebagai saksi yang
memiliki nilai kekuatan pembuktian.
Di
sisi lain, jika kita merunut beberapa putusan yang dilahirkan oleh Mahkamah
Agung RI, maka kita akan menemukan beberapa hal terkait kesaksian testimonium
de auditu, sebagai berikut:
Testimonium
de auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas
minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de
auditu itu terdiri dari beberapa orang. Hal tersebut dapat kita temukan pada
Putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975. Pada
putusan tersebut, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun
harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang
terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan
turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum
itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan
demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan
dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan
seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku
dan benar.
Testimonium
de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri, tetapi
dapat menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden).Hal ini terdapat pada putusan
Mahkamah Agung No. 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959.
Membenarkan
testimonium de auditu sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus
testis nullus testis (satu orang saksi dinilai bukan saksi) yang diberikan
seorang saksi.Hal tersebut dapat kita jumpai pada putusan Mahkamah Agung No.
818 K/ Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984.
Lantas
bagaimana dengan keterangan saksi testimonium de auditu pada perkara perdata
yang berhubungan dengan perkawinan? khususnya perkara perceraian? Perkara
perceraian adalah perkara yang rumit. Perkara perceraian pada dasarnya adalah
perkara personen recht (berhubungan dengan orang), namun pada kondisi tertentu
bisa saja memuat unsur personen recht dan zaken recht (kebendaan) sekaligus. Misalnya
pada perkara perceraian yang didalamnya terdapat sengketa harta. Pada tataran
praktis, jika perkara yang diajukan tersebut memuat ke dua unsur tersebut, maka
tidak diperkenankan diajukan secara bersama-sama (kumulasi), melainkan harus
diajukan secara terpisah.
Pada
tataran zaken recht (kebendaan) memang kesaksian yang bersifat testimonium de
auditu banyak yang ditolak mentah-mentah.Lantas bagaimana dengan perkara
personen recht (berhubungan dengan orang)? Apakah juga diberlakukan hal yang
sama dengan zaken recht?
Persoalan
yang jamak terjadi sekarang ini adalah sulitnya menemukan saksi-saksi yang
benar-benar melihat dan mendengar langsung dalam hal pembuktian adanya
unsur-unsur yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga Penggugat dan
Tergugat.Gaya hidup yang individulistis, acuh tak acuh dengan lingkungan
sekitar, hidup jauh dari keluarga, dan tenggelam dengan kesibukan
masing-masing, membuat sukarnya menemukan saksi yang tidak tergolong kesaksian
testimonium de auditu.Keadaan seperti ini menjadi dilema dalam pembuktian
perkara perdata yang berhubungan dengan perceraian.
Alasan-alasan
klasik yang sering muncul di persidangan adalah tidak semua Penggugat mampu
menghadirkan saksi yang benar-benar
melihat dan mendengar secara langsung permasalahan yang terjadi dalam rumah
tangga Penggugat dan Tergugat. Maka berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas,
Penulis lebih cendrung untuk tidak serta-merta menolak kesaksian testimonium de
auditu tanpa terlebih dahulu menelaahnya secara rasional dan objektif. Dalam
kata lain, kesaksian testimonium de auditu bisa dijadikan sebagai alat bukti
persangkaan dalam perkara perceraian, bahkan dalam kondisi tertentu bisa saja
dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri, tentunya dengan
pertimbangan yang matang, yang berpegang kepada unsur keadilan dan unsur
kemamfaatan.
- sumber:
http://www.fathurrizqi.com/2013/10/kekuatan-pembuktian-kesaksian.html#sthash.AQ3z7qdJ.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar