PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
(UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial)
A. PENDAHULUAN
Di tengah ramainya perdebatan
tentang rencana revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan,
tak banyak suara muncul menanggapi berlakunya sistem baru penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Undang-Undang yang sedianya mulai berlaku 14Januari 2005 sempat
tertunda setahun dan baru diresmikan pada tanggal
14 Januari 2006 yang lalu.
Munculnya Undang-Undang ini
merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menciptakan kecepatan
penyelesaian perselisihan dan kepastian hukum di bidang hubungan industrial.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan danUndang-Undang No. 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta, yang selama
ini digunakan sebagai dasar penyelesaian hubungan industrial belum dapat
mewujudkan penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat dan murah. Undang-Undang
tersebut juga hanya mengaturpenyelesaian hak dan perselisihan kepentingan
secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi.Selain itu, proses penyelesaian yang
ada semakin panjang, dengan ditetapkannya Putusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara.
Kelemahan-kelemahan dalam sistem
yang lama tersebut kemudian coba diperbaiki oleh Undang-Undang No. 2 Tahun
2004. Nantinya Undang-Undang ini akan mengatur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang disebabkan oleh,
Pertama; perbedaan pendapat atau
kepentinganmengenai keadaan-keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan.
Kedua; kelalaian atau ketidak patuhan
salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
atau peraturan perundang-undangan.
Ketiga; pengakhiran hubungan kerja
dan
Keempat; perbedaan pendapat
antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak
dan kewajibankeserikatpekerjaan.
Dalam setiap penyelesaian
perselisihan wajib dilakukan perundingan bipatrit,
jika gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya
pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat.Atas
kesepakatan kedua belah pihak, penyelesaian perselisihan tersebut dapat
diselesaikan melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (untuk perselisihan
kepentingan dan perselisihan serikat pekerja/buruh). Apabila tidak ada kesepakatan untuk menggunakan konsiliasi atau
arbitrase, maka dilakukan mediasi oleh mediator yang telah
ditetapkanoleh Menteri. Dalam hal Mediasi dan Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkup
peradilan umum dan dibentuk baik pada Pengadilan Negeri maupun pada Mahkamah
Agung.
Selain itu, untuk menjamin proses
penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah,maka perselisihan
hubungan industrial yang lingkupnya berada dalam lingkup Peradilan Umum
dibatasiproses dan tahapannya dengan tidak membuka
kesempatan banding ke Pengadilan Tinggi. PutusanPengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak
danperselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung, sedangkan yang menyangkut
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh
dalam satu perusahaan tidak dapat
dimintakan kasasi.
Antara lain :
·Hubungan industrian yang merupakan
keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi
menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belahpihak.
·Dalam era industrialisasi, masalah
perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkatdan komplek, sehingga
diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrialyang
cepat, tepat, adil, dan murah yang selama ini tidak dapat diwujudkan oleh peraturan
perundang-undangan.
·Perselisihan hubungan industrial
adakalanya sulit dihindari.
·UU No. 22/1957 dan UU No. 12/1964
tidak memadai lagi untuk mengakomodir kondisi yang berkembang antara lain :
·Belum mengatur penyelesaian
perselisihan antara SP/SB;
·Tidak mengenal perselisihan
perorangan;
·Tidak mengatur perselisihan di
lingkungan BUMN.
·Adanya campur tangan Pemerintah
(veto Mentri).
·Waktu penyelesaian cukup lama,
karena putusan P4 Pusat dapat menjadi objeksengketa diPT.TUN bahkan sampai ke
Mahkamah Agung.
POKOK-POKOK PIKIRAN ·
Prinsip non-diskriminasi
:
·Berlaku tanpa memperhatikan status
perusahaan (Ps. 1 butir 7)
·Adanya kebebasan berserikat :
diakuinya hak perorangan dalam penyelesaian (Ps. 1 butir1,9)
·Tersedianya alternatif institusi
penyelesaian (Ps. 8, 17 dan 29)
·Mengutamakan penyelesaian secara
musyawarah;
·Prinsip penyelesaian cepat, tepat,
adil dan murah.
·Adanya batas wdaktu penyelesaian
pada setiap tahap;
·Putusan PHI bersifat final untuk
perselisihan kepentingan dan antar SP/SB;
·Tidak adanya upaya banding;
·Adanya hakim karier dan ad-hoc.
JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
· Perselisihan hak ;
· perselisihan
kepentingan ;
· Perselisihan PHK ;
· Perselisihan antar
serikat pekerja / serikat buruh hanya satu perusahaan.
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL DENGAN CARA NON
LITIGASI (DILUAR PENGADILAN) :
·BIPARTIT
·MEDIASI
·ARBITRASE
Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1)
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan (negosiasi/bipartite
) secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaianperselisihan
melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan;
2)
Apabila dalam jangka waktu 30
(tigapuluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telahdilakukan
perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit
dianggap gagal;
3)
Selanjutnya, salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yangbertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (dalam hal ini
Departemen Tenaga Kerja) setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah d i l a k u k a n ;
4)
Pegawai pencatat pada Departemen
Tenaga Kerja setempat wajib menawarkan kepada para
pihakuntuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika
para pihak tidakmenetapkan pilihan penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari, maka pegawai
pencatat tersebut melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
Sedangkan Penyelesaian Perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi, dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
1)
Dilakukan oleh mediator yang
terdapat di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota;
2)
Penyelesaian perselisihan melalui
mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh)
hari;
3)
Apabila tercapai kesepakatan antara
para pihak, maka para pihak menandatangani PerjanjianBersama disaksikan oleh
mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial padaPengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran;
4)
Namun jika kesepakatan tidak
tercapai, maka penyelesaian perselisihan dilanjutkan untuk bandingmelalui Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal ini, perselisihan harus dapat
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
5)
Jika penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud pada nomor 4 di atas tidak tercapai, makapenyelesaian
perselisihan dilanjutkan untuk kasasi melalui
Mahkamah Agung. Penyelesaian perselisihan tersebut harus dapat diselesaikan
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Adapun mekanisme penyelesaian
Perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut:
1)
Penyelesaian perselisihan dilakukan
oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
2)
Penyelesaian perselisihan melalui
konsiliasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh)
hari;
3)
Konsiliator menyelesaikan
perselisihan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara
tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak;
4)
Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuatlah Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh
parapihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada PengadilanNegeri di wilayah Hukum para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti p e n d a f t a r a n ;
5) Namun jika kesepakatan tidak tercapai, maka penyelesaian
perselisihan dilanjutkan untuk bandingmelalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal ini,
perselisihan harus dapat diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
6)
Jika penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud pada nomor 5 di atas tidak tercapai, makapenyelesaian
perselisihan dilanjutkan untuk kasasi melalui
Mahkamah Agung. Penyelesaian perselisihan tersebut harus dapat diselesaikan
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Apabila arbitrase dipilih sebagai lembaga penyelesaian Perselisihan
hubungan industrial, adapun tahapan yang akan dilalui adalah sebagai berikut:
1)
Penyelesaian perselisihan dilakukan
oleh Arbiter atas dasar kesepakatan para pihak yang
berselisih,yang dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian
arbitrase;
2)
Penyelesaian perselisihan harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak
yang b e r s e l i s i h ;
3)
Apabila perdamaian tercapai, maka
arbiter wajib membuat akta perdamaian yang
ditandatangani olehpara pihak yang berselisih dan arbiter. Kemudian akta
perdamaian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
akta p e r d a m a i a n ;
4)
Apabila upaya perdamaian gagal,
arbiter meneruskan sidang arbitrase untuk
diperoleh suatu putusan a r b i t r a s e ;
5) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah
Agung paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya putusan arbiter,
jika putusan arbiter diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a.
surat atau dokumen yang diajukan
dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
atau dinyatakan palsu;
b.
setelah putusan diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan
oleh pihak lawan;
c.
putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan p e r s e l i s i h a n ;
d.
putusan melampaui
kekuasaan arbiter hubungan industrial, atau
e.
putusan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
6)
Jika permohonan sebagaimana dimaksud
pada nomor 5 di atas dikabulkan oleh Mahkamah Agung,maka
putusan arbitrase dinyatakan batal;
7)
Mahkamah Agung memutuskan perselisihan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak menerima permohonan pembatalan.
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERTUGAS DAN BERWENANG
·Di tingkat pertama mengenai
perselisihan hak;
·Ditingkat pertama dan terakhir
mengenai perselisihan kepentingan;
·Di tingkat pertama mengenai
perselisihan pemutusan hubungan kerja;
·Di tingkat pertama dan terakhir
mengenai perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalamsuatu
perusahaan.
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS
PHI adalah pengadilan khusus di
lingkungan Peradilan Umum, berwenang memeriksa,
mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial.
HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdatayang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang diatur secara
khususnyadalam undang-undang ( Pasal 57 )
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai
hak,perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/buruh dalam satuperusahaan.
PENGAJUAN GUGATAN
Gugatan perselisihan hubungan
industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrialpada Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal. 81 )
PRA PERSIDANGAN
1.
Pengajuan gugatan yang tidak
dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim
Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
2.
Hakim berkewajiban memeriksa isi
gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk
menyempurnakan gugatan. (Pasal 83 )
BIAYA PERKARA
Dalam proses beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk
biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp 150.000.000.- ( seratuslima
puluh juta rupiah )
GUGATAN KOLEKTIF
Gugatan yang melibatkan lebih dari
satu penggugat dapat diajukan secara kolektif denganmembiarkan kuasa khusus
(Pasal 84)
KUMULASI GUGATAN
Dalam hal perselisihan hak dan/atau
perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihanpemutusan hubungan kerja,
maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara
perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan (Pasal 86)
KUASA HUKUM
Serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukumuntuk beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya (Pasal 87)
Penjelasan : Yang dimaksud dengan
serikat pekerja/serikat buruh, meliputi pengurus pada tingkatperusahaan,
tingkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat, baik serikat pekerja/serikat buruh,
anggota federasi maupun nonfederasi
MAJELIS HAKIM
Sidang sah apabila dilakukan oleh
majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 ayat (1)yaitu hakim PN
sebagai hakim ketua, hakim ad hoc sebagai anggota majelis (Pasal 92).Hakim ad
hoc sebagaimana dimaksud padsa ayat (1) terdiri atas seorang hakim ad-hoc yang pengangkatannya
diusulkan oleh SP/SB dan seorang hakim ad-hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha (pasal 88 ayat (2) ).
PENUNDAAN SIDANG
1.
Dalam hal salah satu pihak atau para
pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, ketua majelis hakim menetapkan hari sidang berikutnya
2.
Hari sidang berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktuselambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal penundaan (Pasal 93)
3.
Penundaan sidang karena ketidak hadiran
salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan
(Pasal 93)
GUGATAN GUGUR
Dalam hal penggugat atau kuasa
hukumya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
dimaksud dalam pasal 93 ayat (3), maka gugatannya sekali lagi. (Pasal 94)
PUTUSAN VERSTEK
Dalam hal tergugat atau kuasa
hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam
pasal 89 tidak datang menghadap pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
dimaksud dalam pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus
perselisihan tanpa dihindari tergugat. (Pasal 94)
TATA TERTIB PERSIDANGAN
·Sidang majelis hakim terbuka untuk
umum, kecuali majelis hakim menetapkan lain.
·Setiap orang yang hadir dalam
persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan
·Setiap orang yang tidak mentaati
tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),setelah mendapat
peringatan dari atau atas perintah ketua majelis hakim, dapat dikeluarkan
dariruang sidang. (Pasal 95)
PUTUSAN SELA
1.
Apabila dalam persidangan pertama,
secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undangNomor.13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan Putusan
Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. (Pasal 96)
2.
Putusan Sela sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari
persidangan kedua (Pasal 96)
3.
Dalam hal selama pemeriksaan
sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimanadimaksud dalam ayat (1)
tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang memerintahkan sita
jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal96)
4.
Putusan Sela sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat dipergunakan upaya hukum(Pasal 96)
DICTUM PUTUSAN PHI
Dalam putusan Pengadilan Hubungan
Industrial ditetapkan :
·kewajiban yang harus dilakukan
dan/atau
·hak yang harus diterima oleh para
pihak atau salah satu piha katas setiap penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (Pasal97)
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA CEPAT
1.
Apabila terdapat kepentinagan para
pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesakyangharus dapat disimpulkan
dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau
salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat (Pasal 98)
2.
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak
dikabulkannya permohonan tersebut
3.
Terhadap penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum(Pasal 98)
4.
Dalam hal permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 (1) dikabulkan, KetuaPengadilan negeri dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat,
danwaktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
5.
Tenggang waktu untuk jawaban dan
pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukantidak melebihi 14 (empat
belas) hari kerja (Pasal 99)
PENGAMBILAN PUTUSAN
Dalam mengambil putusan, Majelis
Hakim mempertimbangkan
·hukum,
·perjanjian yang ada,
·kebiasaan,
·dan keadilan (Pasal 100)
Putusan Majelis hakim dibacakan
dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 101)
TENGGANG WAKTU PEMERIKSAAN
Majelis hakim wajib memberikan
putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalamwaktu
selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.
(Pasal 103)
PUTUSAN PHI
Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim,
Hakim Ad-Hoc dan panitera Pengganti (Pasal 104)
PUTUSAN YANG DAPAT DIJALANKAN LEBIH
DAHULU
Putusan Pengadialan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.(Pasal 109)
TENGGANG WAKTU KASASI
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukanpermohonan
kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
harikerja :
a. Bagi pihak yang hadir, terhitung
sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
b.Bagi pihak yang tidak hadir,
terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.(Pasal110)
PETUNJUK PELAKSANAANUU No. 2 Tahun
2004BIDANG TEKNIS BERDASARKAN SK KMA NO.KMA/034/SK/IV/2006Tgl 19 APRIL 2006
I. PETUNJUK TEKNIS
1. KUASA HUKUM
·Serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum diPengadilan Hubungan
Industrial untuk mewakili anggotanya (psl. 87 UU No. 2 th 2004).
·Ketentuan ini merupakan ketentuan
khusus (lex specialis) dan memberi legal standing
Kepada Serikat Pekerja/Serikat Buruh
dan Organisasi Pengusaha untuk bertindak selaku kuasa hukum.
2.
GUGATAN
·Gugatan yang nilainya sampai dengan
Rp 150.000.000,- tidak dikenakan biaya perkara. Apabila penggugat tidak mampu
sedangkan gugatannya diatas Rp 150.000.000,- gugatan dapat diajukan secara
prodeo menurut prosedur pasal 237 HIR/237 Rbg.
·Gugatan perkara limpahan dari P 4 D
tidak perlu dilampiri dengan risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi.
·Gugatan yang diajukan ke PHI harus
dilampiri risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi.
·Rekonvensi dan intervensi
diperbolehkan di PHI.
3.
MAJELIS HAKIM
HAKIM Ad Hoc
Yang menarik dalam sistem baru ini
adalah dikenalnya Hakim Ad Hoc baik pada Pengadilan Hubungan Industrial maupun
pada Mahkamah Agung. Dibandingkan Hakim Ad Hoc pada pengadilanlain, Hakim Ad
Hoc dalam sistem ini bersifat permanen, karena setiap penyelesaian perkara perselisihan
hubungan industrial dilakukan oleh hakim karir sebagai Ketua Majelis dan 2
(dua) orangHakim Ad Hoc sebagai anggota Majelis Hakim. Hakim Ad Hoc ini
pengangkatannya atas usul serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha yang
dalam setiap persidangan harus memenuhi komposisi tersebut, namun demikian
mereka harus bersikap netral dan tidak berpihak pada organisasi yang mengusulkan.
Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Undang-Undang 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang mensyaratkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Sikap netral ini
menjadi tantangan tersendiri bagi Hakim Ad Hoc untuk secara total berani
melepas baju sebelumnya dan mengenakan toga hakim sebagai perlambang kekuasaan kehakiman
yang mandiri.
Kewajiban untuk netral dan imparsial
ini juga tergambarkan dalam Keputusan Presiden No. 31/Tahun 2006 tentang
pengangkatan 155 Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan 4 orang
Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung. Dalam surat keputusan tersebut, sama sekali
tidak disinggung “asal muasal” para Hakim Ad Hoc tersebut. Selanjutnya dalam
melaksanakan tugasnya Hakim Ad Hoc berada dalam pembinaan Mahkamah Agung baik
mengenai teknik yudisial, organisasi,administrasi dan financial.
Majelis Hakim PHI terdiri dari 3
orang dengan susunan :
·Hakim PN sebagai Ketua Majelis
·2 Hakim ad hoc sebagai hakim
anggota yang terdiri dari : satu unsur SP/SB dan satu lagi dari unsur
organisasi pengusaha.
·Dalam hal salah satu hakim ad hoc
berhalangan dan tidak ada lagi penggantinya dari unsur yang sama maka Ketua PHI
dapat menunjuk hakim anggota dari unsur yang lain untuk menggantikan.
4. PERDAMAIAN
·Walaupun telah melalui mediasi atau
konsiliasi hakim wajib menganjurkan perdamaian kepada kedua belah pihak, tetapi
tidak perlu mengikuti acara mediasi menurut PERMA No. 2 Th 2003.
·Apabila Majelis Hakim berhasil
mendamaikan kedua belah pihak maka dibuat akte perdamaian sesuai pasal 130
HIR/154 Rbg.
5.
VERZET ATAS PUTUSAN VERSTEK
Perlawanan terhadap putusan verstek
diajukan oleh tergugat dengan memperhatikan pasal 129HIR/153 Rbg :
·14 hari sejak putusan
diberitahukannya.
·Dalam 8 hari aanmaning/tegoran.
·Dalam 8 hari setelah sita eksekusi.
6.
SITA JAMINAN
·Sita jaminan dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan psl 227 HIR/261 Rbg jo pasal 96 UU no. 2th 2004
·Jika barang yang akan disita berada
pada wilayah hukum PHI lain, maka pelaksanaan sita didelegasikan ke PHI didalam
wilayah barang tersebut terletak.
·Perlawanan atas sita tersebut
diatas diajukan ke PHI yang melakukan penyitaan.
·Terhadap putusan atas perlawanan
sita hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi.
7.
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA CEPAT
Pengertian KEPENTINGAN MENDESAK
dalam pasal 98 ayat (1) UU no. 2 th 2004 antara lain :
·PHK massal, terjadi huru hara yang
mengganggu kepentingan produksi, keamanan danketertiban umum.
·Pengertian tanpa melalui prosedur
pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 99 ayat (1)UU no. 2 th 2004
adalah sidang pemeriksaan tidak terikat pada acara perkara perdata umumnyaa.l.
Tentang tenggang waktu pemanggilan, replik/duplik, dan hal-hal lain yang dapatmenghambat
proses secara cepat.
·Persidangan perkara harus dilakukan
pada hari kerja pertama setelah kedua belah pihakdipanggil dengan tata cara
pemanggilan tercepat.
8.
PEMANGGILAN
·Pemanggilan pihak yang berperkara
yang bertempat tinggal diluar wilayah hukum PN tempatkedudukan PHI, dapat
didelegasi kepada PN ditempat tinggal / tempat kedudukan pihak yangdipanggil.
·Pemanggilan terhadap pihak yang
bertempat tinggal / berkedudukan diluar negeri, dilakukan melalui Deplu.
9.
TUGAS KEJURUSITAAN
·Tugas-tugas kejurusitaan yang dalam
undang-undang No. 2 tahun 2004 dilaksanakan oleh panitera pengganti, harus
diartikan dilaksanakan oleh jurusita/jurusita pengganti Pengadilan Negeri yang
ditugaskan pada PHI dengan surat keputusan khusus.
10.
PUTUSAN SELA DAN PUTUSAN
·Pada persidangan pertama,
nyata-nyata terbukti pengusaha tidak membayar upah, dan hak-hak lainnya pekerja
/ buruh yang dikenakan skorsing oleh pengusaha, maka hakim ketua sidang harus segera
menjatuhkan putusan sela yang memberi perintah kepada pengusaha untuk membayar
upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja / buruh.
·Apabila selama persidangan
berlangsung pengusaha tidak melaksanakan putusan sela tersebut,hakm ketua
sidang memerintahkan sita jaminan terhadap harta milik pengusaha.
·Dalam hal perselisihan hak dan atau
perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja
sebagaimana diatur dalam pasal 86 UU No. 2 maka PHI wajib memutus perselisihan
hak dan atau perselisihan kepentingan tersebut dalam bentuk putusan sela.
·Putusan serta merta dapat dilakukan
berpedoman pada pasal 180 HIR / 191 Rbg jo pasal 108 UUNo. 2 tahun 2004 tentang
Peenyelesaian Perselisiahan Hubungan Industrial.
·Putusan PHI selain memuat ketentuan
pada pasal 102 ayat (1) huruf g UU No. 2 tahun 2004 juga mencantumkan hari dan
tanggal musyawarah majellis hakim.
11.
UPAYA HUKUM
·Atas putusan PHI tidak bisa
diajukan upaya hukum banding.
·Terhadap keputusan P4D yang diputus
setelah diundangkannya UU No. 2 tahun 2004 sebelum tanggal 14 Januari 2006 (PHI
beroperasi secara resmi) dapat dimintakan upaya hukum kasasi menurut cara-cara
yang diatur dalam hukum acara Mahkamah Agung.
·Terhadap keputusan P4P yang diputus
setelah diundangkannya UU No. 2 tahun 2004 sebelum tanggal 14 Januari 2006 (PHI
beroperasi secara resmi) dapat dimintakan upya hukum PK menurut cara-cara yang
diatur dalam acara Mahkamah Agung.
12. EKSEKUSI
·Eksekusi terhadap Perjanjian
Bersama Bipartit, Mediasi dan Konsiliasi yang didaftarkan pada PHIdi tempat
dibuatnya Perjanjian Bersama, dilakukanoleh PHI di wilayah Perjanjian
Bersamatersebut didaftar.
·Eksekusi Perjanjian Bersama hanya
dapat dilakukan setelah Perjanjian Bersama tersebut diflateksekusi oleh ketua
PHI dengan memberi irah-irah
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”
diatas Akte Perjanjian Bersama dan
dibawah Perjanjian Bersama ditulis kata-kata:
“Perjanjian Bersama ini dapat
dijalankan”.
kemudian dibubuhi tanggal dan
ditanda tangani oleh ketua PHI setempat serta diberi stempel.
13.
DISSENTING OPINION
Apabila terjadi perbedaan pendapat (dissenting
opinion) diantara majelis hakim maka pendapat hakim yang berbeda dimuat
dalampertimbangan putusan.
II.HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIKETAHUI
A.
PENDAFTARAN PERJANJIAN BERSAMA (PB)
:
1.Bipartit. (Pasal 7)
Wajib didaftarkan oleh para pihak
yang melakukan perjanjian pada PHI diwilayah para pihak mengadakan PB.
2. Mediasi. (pasal 13)
Didaftar di PHI diwilayah hukum
pihak-pihak mengadakan PB.
3.
Konsilisiasi. (pasal 23)
Didaftar di PHI diwilayah hukum
pihak-pihak mengadakan PB.
B.
TUJUAN PENDAFTARAN PB :
Untuk mendapatkan AKTE BUKTI
PENDAFTARAN PB.
C.
KEKUATAN AKTE BUKTI PENDAFTARAN PB
ADALAH :
1.
Apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan isi PB tersebut maka pihak yang dirugikandapatmemohon fiat
eksekusi kepada Ketua PHI dengan melampirkan PB dan Akte Pendaftaran PB.
2.
Daya eksekutorial PB terletak pada
pendaftaran PB yang dibuktikan dengan AKTE BUKTIPENDAFTARAN PB
PEMBATASAN WAKTU PEMERIKSAAN
·Pasal 103 UU no. 2 th 2004
mewajibkan majelis hakim memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari.
·Ketentuan ini menyebabkan para
pihak/kuasa hukum yang berperkara di PHI benar-benar harusmempersiapkan segala
sesutunya dengan cepat, teliti dan lengkap dan tidak ada kemungkinanmeminta
pengunduran sidang yang cukup lama, karena setiap pengunduran sidang hanya
palinglama 7 (tujuh) hari kerja.
ACARA PEMERIKSAAN CEPAT
·Pada pemeriksaan dengan acara
cepat, tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian oleh keduabelah pihak,
masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
·Pada pemeriksaan dengan acara cepat
tidak ada lagi proses pra persidangan, dengan demikian gugatan yang diajukan
harus benar-benar sempurna dan telah memenuhi syarat-syarat formal
yangdiharuskan.
PENGAJUAN MEMORI KASASI
·Pasal 112. menentukan : Sub
Kepaniteraan PHI dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohinan kasasi harus sudahmenyampaikan
berkas perkara kepada KMA.
·Ketentuan ini mengandung pengertian
bahwa memori kasasi dan kontra memori kasasi harus sudah diserahkan ke Panmud
PHI dalam tenggang waktu 14 hari kerja.
Bandingkan dengan ketentuan pasal
46, 47 dan 48 UU no. 14 tahun 1985 jo UU no.5 th 2004tentang Mahkamah Agung
yang mengatur tenggang waktu pengajuan kasasi ddan penyerahan memorikasasi
serta kontra memori kasasi yaitu 14 hari + 14 hari dan 14 hari setelah menerima
memori kasasi untuk pengajuan kontra memori kasasi.
C. KESIMPULAN
Keberadaan sistem penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang baru diharapkan dapat sedikit membantu
pemulihan iklim investasi Indonesia. Hal ini juga disinggung dalam
InstruksiPresiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim
Investasi, dimana salah satu kebijakan yang diambil adalah penyelesaian perselisihan
hubungan industrial secara cepat, murah dan berkeadilan. Program yang akan
dilakukan untuk itu adalah melaksanakan pelatihan bagi calonmediator,
konsiliator, arbitrer dan Hakim Ad Hoc serta membuat sistem informasi yang
berisikan berbagai keputusan tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Dengan adanya sistem yang baru ini,
timbul harapan akan terwujudnya kepastian hukum dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dengan proses yang cepat, tepat, adil dan murah sehingga dapat
menimbulkan kepercayaan dari para investor. Ketidakpastian dan multitafsir
dalam peraturan bidang hubungan industrial sering kali menimbulkan konflik,
perselisihan, dan pemogokan yang merugikan baik bagi pekerja maupun bagi
pengusaha.
Terlepas
dari peraturan baru yang diharapkan dapat mengakomodir kelemahan dari peraturan
yang lama, perlu diingat bahwa peraturan yang baik belum tentu menjamin
benar-benar terwujudnya sistem yang baik ataupun hasil yang baik pula.Pada
akhirnya, sistem yang baik harus ditunjang dengan Hakim-Hakim yang jujur, baik
dan kompeten. Oleh karenanya mereka akan menduduki posisi yang sangat penting
dalam kebangkitan bangsa ini. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial akan
menjadisalah satulegal light house
(mercu suar hukum) bagi para pelaku
ekonomi terutama investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, yangmenurut para
pelaku ekonomi merupakan peraturan yang tidak ramah investasi dapat diuji
diPengadilan tersebut. Untuk itu, posisi Hakim sebagai salah satu pembentuk
hukum akan menjadi sangat strategis di sini.
Harapan-harapan itulah yang saat ini
dititipkan pada Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial. Oleh karenanya
dituntut kemampuan dari para Hakim untuk tidak hanya melihatUndang-Undang
sebagai tulisan mati (dead letter rules), seorang Hakim tidak boleh bersikap
terlalu formalistis, Hakim harus bersikap realistis untuk melihat realitas yang
ada. Dengan masih kurang ramah atau kurang jelasnya peraturan ketenagakerjaan
yang ada, maka analisis ekonomi ke depan (forward looking analysis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar