Sabtu, 17 Mei 2014

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL



HUKUM ACARA
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
(UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)


A. PENDAHULUAN

Di tengah ramainya perdebatan tentang rencana revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan, tak banyak suara muncul menanggapi berlakunya sistem baru penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang yang sedianya mulai berlaku 14Januari 2005 sempat tertunda setahun dan baru diresmikan pada tanggal 14 Januari 2006 yang lalu.
Munculnya Undang-Undang ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menciptakan kecepatan penyelesaian perselisihan dan kepastian hukum di bidang hubungan industrial.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan danUndang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta, yang selama ini digunakan sebagai dasar penyelesaian hubungan industrial belum dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat dan murah. Undang-Undang tersebut juga hanya mengaturpenyelesaian hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi.Selain itu, proses penyelesaian yang ada semakin panjang, dengan ditetapkannya Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara.
Kelemahan-kelemahan dalam sistem yang lama tersebut kemudian coba diperbaiki oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Nantinya Undang-Undang ini akan mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh,

Pertama; perbedaan pendapat atau kepentinganmengenai keadaan-keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.

Kedua; kelalaian atau ketidak patuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.

Ketiga; pengakhiran hubungan kerja dan

Keempat; perbedaan pendapat antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajibankeserikatpekerjaan.
Dalam setiap penyelesaian perselisihan wajib dilakukan perundingan bipatrit, jika gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat.Atas kesepakatan kedua belah pihak, penyelesaian perselisihan tersebut dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan serikat pekerja/buruh). Apabila tidak ada kesepakatan untuk menggunakan konsiliasi atau arbitrase, maka dilakukan mediasi oleh mediator yang telah ditetapkanoleh Menteri. Dalam hal Mediasi dan Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkup peradilan umum dan dibentuk baik pada Pengadilan Negeri maupun pada Mahkamah Agung.
Selain itu, untuk menjamin proses penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah,maka perselisihan hubungan industrial yang lingkupnya berada dalam lingkup Peradilan Umum dibatasiproses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan banding ke Pengadilan Tinggi. PutusanPengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak danperselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung, sedangkan yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh
dalam satu perusahaan tidak dapat dimintakan kasasi.


B. LATAR BELAKANG KELUARNYA UU NO. 2 TH 2004

Antara lain :
·Hubungan industrian yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belahpihak.
·Dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkatdan komplek, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrialyang cepat, tepat, adil, dan murah yang selama ini tidak dapat diwujudkan oleh peraturan perundang-undangan.
·Perselisihan hubungan industrial adakalanya sulit dihindari.
·UU No. 22/1957 dan UU No. 12/1964 tidak memadai lagi untuk mengakomodir kondisi yang berkembang antara lain :
·Belum mengatur penyelesaian perselisihan antara SP/SB;
·Tidak mengenal perselisihan perorangan;
·Tidak mengatur perselisihan di lingkungan BUMN.
·Adanya campur tangan Pemerintah (veto Mentri).
·Waktu penyelesaian cukup lama, karena putusan P4 Pusat dapat menjadi objeksengketa diPT.TUN bahkan sampai ke Mahkamah Agung.


POKOK-POKOK PIKIRAN ·

Prinsip non-diskriminasi :
·Berlaku tanpa memperhatikan status perusahaan (Ps. 1 butir 7)
·Adanya kebebasan berserikat : diakuinya hak perorangan dalam penyelesaian (Ps. 1 butir1,9)
·Tersedianya alternatif institusi penyelesaian (Ps. 8, 17 dan 29)
·Mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
·Prinsip penyelesaian cepat, tepat, adil dan murah.
·Adanya batas wdaktu penyelesaian pada setiap tahap;
·Putusan PHI bersifat final untuk perselisihan kepentingan dan antar SP/SB;
·Tidak adanya upaya banding;
·Adanya hakim karier dan ad-hoc.


JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
· Perselisihan hak ;
· perselisihan kepentingan ;
· Perselisihan PHK ;
· Perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh hanya satu perusahaan.

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN CARA NON
LITIGASI (DILUAR PENGADILAN) :
·BIPARTIT
·MEDIASI
·KONSILIASI
·ARBITRASE

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1)     Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan (negosiasi/bipartite ) secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaianperselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan;
2)     Apabila dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telahdilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal;
3)     Selanjutnya, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yangbertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja) setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah d i l a k u k a n ;
4)     Pegawai pencatat pada Departemen Tenaga Kerja setempat wajib menawarkan kepada para pihakuntuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika para pihak tidakmenetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari, maka pegawai pencatat tersebut melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

Sedangkan Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1)    Dilakukan oleh mediator yang terdapat di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota;
2)    Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
3)    Apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka para pihak menandatangani PerjanjianBersama disaksikan oleh mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial padaPengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran;
4)    Namun jika kesepakatan tidak tercapai, maka penyelesaian perselisihan dilanjutkan untuk bandingmelalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal ini, perselisihan harus dapat diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
5)    Jika penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada nomor 4 di atas tidak tercapai, makapenyelesaian perselisihan dilanjutkan untuk kasasi melalui Mahkamah Agung. Penyelesaian perselisihan tersebut harus dapat diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Adapun mekanisme penyelesaian Perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1)     Penyelesaian perselisihan dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
2)     Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
3)     Konsiliator menyelesaikan perselisihan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak;
4)     Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuatlah Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh parapihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada PengadilanNegeri di wilayah Hukum para pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti p e n d a f t a r a n ;
5)     Namun jika kesepakatan tidak tercapai, maka penyelesaian perselisihan dilanjutkan untuk bandingmelalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal ini, perselisihan harus dapat diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
6)     Jika penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada nomor 5 di atas tidak tercapai, makapenyelesaian perselisihan dilanjutkan untuk kasasi melalui Mahkamah Agung. Penyelesaian perselisihan tersebut harus dapat diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Apabila arbitrase dipilih sebagai lembaga penyelesaian Perselisihan hubungan industrial, adapun tahapan yang akan dilalui adalah sebagai berikut:
1)    Penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Arbiter atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih,yang dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase;
2)    Penyelesaian perselisihan harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang b e r s e l i s i h ;
3)    Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter wajib membuat akta perdamaian yang ditandatangani olehpara pihak yang berselisih dan arbiter. Kemudian akta perdamaian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta p e r d a m a i a n ;
4)    Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter meneruskan sidang arbitrase untuk diperoleh suatu putusan a r b i t r a s e ;
5)    Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya putusan arbiter, jika putusan arbiter diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a.     surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b.     setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c.     putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan p e r s e l i s i h a n ;
d.     putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial, atau
e.     putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
6)    Jika permohonan sebagaimana dimaksud pada nomor 5 di atas dikabulkan oleh Mahkamah Agung,maka putusan arbitrase dinyatakan batal;
7)    Mahkamah Agung memutuskan perselisihan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERTUGAS DAN BERWENANG
·Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
·Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
·Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
·Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalamsuatu perusahaan.

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS
PHI adalah pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum, berwenang memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.


Note: Pembentukanpengadilan khusus dimungkinkan oleh pasal 15 UU no. 4 th. 2004
HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdatayang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang diatur secara khususnyadalam undang-undang ( Pasal 57 )

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satuperusahaan.

PENGAJUAN GUGATAN
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrialpada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal. 81 )

PRA PERSIDANGAN
1.     Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
2.     Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatan. (Pasal 83 )

BIAYA PERKARA
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp 150.000.000.- ( seratuslima puluh juta rupiah )

GUGATAN KOLEKTIF
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif denganmembiarkan kuasa khusus (Pasal 84)

KUMULASI GUGATAN
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihanpemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan (Pasal 86)

KUASA HUKUM
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukumuntuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya (Pasal 87)
Penjelasan : Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh, meliputi pengurus pada tingkatperusahaan, tingkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat, baik serikat pekerja/serikat buruh, anggota federasi maupun nonfederasi

MAJELIS HAKIM
Sidang sah apabila dilakukan oleh majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 ayat (1)yaitu hakim PN sebagai hakim ketua, hakim ad hoc sebagai anggota majelis (Pasal 92).Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud padsa ayat (1) terdiri atas seorang hakim ad-hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh SP/SB dan seorang hakim ad-hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha (pasal 88 ayat (2) ).

PENUNDAAN SIDANG
1.     Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, ketua majelis hakim menetapkan hari sidang berikutnya
2.     Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktuselambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan (Pasal 93)
3.     Penundaan sidang karena ketidak hadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan (Pasal 93)

GUGATAN GUGUR
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 ayat (3), maka gugatannya sekali lagi. (Pasal 94)

PUTUSAN VERSTEK
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 tidak datang menghadap pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihindari tergugat. (Pasal 94)

TATA TERTIB PERSIDANGAN
·Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim menetapkan lain.
·Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan
·Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah ketua majelis hakim, dapat dikeluarkan dariruang sidang. (Pasal 95)


PUTUSAN SELA
1.     Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undangNomor.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. (Pasal 96)
2.     Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua (Pasal 96)
3.     Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal96)
4.     Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat dipergunakan upaya hukum(Pasal 96)

DICTUM PUTUSAN PHI
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan :
·kewajiban yang harus dilakukan dan/atau
·hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu piha katas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal97)

PEMERIKSAAN DENGAN ACARA CEPAT
1.     Apabila terdapat kepentinagan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesakyangharus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat (Pasal 98)
2.     Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut
3.     Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum(Pasal 98)
4.     Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 (1) dikabulkan, KetuaPengadilan negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, danwaktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
5.     Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukantidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 99)

PENGAMBILAN PUTUSAN
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan
·hukum,
·perjanjian yang ada,
·kebiasaan,
·dan keadilan (Pasal 100)

Putusan Majelis hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 101)

TENGGANG WAKTU PEMERIKSAAN
Majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalamwaktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. (Pasal 103)

PUTUSAN PHI
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan panitera Pengganti (Pasal 104)

PUTUSAN YANG DAPAT DIJALANKAN LEBIH DAHULU
Putusan Pengadialan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.(Pasal 109)

TENGGANG WAKTU KASASI
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukanpermohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) harikerja :
a. Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
b.Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.(Pasal110)

PETUNJUK PELAKSANAANUU No. 2 Tahun 2004BIDANG TEKNIS BERDASARKAN SK KMA NO.KMA/034/SK/IV/2006Tgl 19 APRIL 2006

I. PETUNJUK TEKNIS

1. KUASA HUKUM
·Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum diPengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya (psl. 87 UU No. 2 th 2004).
·Ketentuan ini merupakan ketentuan khusus (lex specialis) dan memberi legal standing
Kepada Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha untuk bertindak selaku kuasa hukum.
2.  GUGATAN
·Gugatan yang nilainya sampai dengan Rp 150.000.000,- tidak dikenakan biaya perkara. Apabila penggugat tidak mampu sedangkan gugatannya diatas Rp 150.000.000,- gugatan dapat diajukan secara prodeo menurut prosedur pasal 237 HIR/237 Rbg.
·Gugatan perkara limpahan dari P 4 D tidak perlu dilampiri dengan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
·Gugatan yang diajukan ke PHI harus dilampiri risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi.
·Rekonvensi dan intervensi diperbolehkan di PHI.

3.  MAJELIS HAKIM

HAKIM Ad Hoc
Yang menarik dalam sistem baru ini adalah dikenalnya Hakim Ad Hoc baik pada Pengadilan Hubungan Industrial maupun pada Mahkamah Agung. Dibandingkan Hakim Ad Hoc pada pengadilanlain, Hakim Ad Hoc dalam sistem ini bersifat permanen, karena setiap penyelesaian perkara perselisihan hubungan industrial dilakukan oleh hakim karir sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orangHakim Ad Hoc sebagai anggota Majelis Hakim. Hakim Ad Hoc ini pengangkatannya atas usul serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha yang dalam setiap persidangan harus memenuhi komposisi tersebut, namun demikian mereka harus bersikap netral dan tidak berpihak pada organisasi yang mengusulkan. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Undang-Undang 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mensyaratkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Sikap netral ini menjadi tantangan tersendiri bagi Hakim Ad Hoc untuk secara total berani melepas baju sebelumnya dan mengenakan toga hakim sebagai perlambang kekuasaan kehakiman yang mandiri.
Kewajiban untuk netral dan imparsial ini juga tergambarkan dalam Keputusan Presiden No. 31/Tahun 2006 tentang pengangkatan 155 Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan 4 orang Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung. Dalam surat keputusan tersebut, sama sekali tidak disinggung “asal muasal” para Hakim Ad Hoc tersebut. Selanjutnya dalam melaksanakan tugasnya Hakim Ad Hoc berada dalam pembinaan Mahkamah Agung baik mengenai teknik yudisial, organisasi,administrasi dan financial.

Majelis Hakim PHI terdiri dari 3 orang dengan susunan :
·Hakim PN sebagai Ketua Majelis
·2 Hakim ad hoc sebagai hakim anggota yang terdiri dari : satu unsur SP/SB dan satu lagi dari unsur organisasi pengusaha.
·Dalam hal salah satu hakim ad hoc berhalangan dan tidak ada lagi penggantinya dari unsur yang sama maka Ketua PHI dapat menunjuk hakim anggota dari unsur yang lain untuk menggantikan.

4.  PERDAMAIAN
·Walaupun telah melalui mediasi atau konsiliasi hakim wajib menganjurkan perdamaian kepada kedua belah pihak, tetapi tidak perlu mengikuti acara mediasi menurut PERMA No. 2 Th 2003.
·Apabila Majelis Hakim berhasil mendamaikan kedua belah pihak maka dibuat akte perdamaian sesuai pasal 130 HIR/154 Rbg.

5.  VERZET ATAS PUTUSAN VERSTEK
Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan oleh tergugat dengan memperhatikan pasal 129HIR/153 Rbg :
·14 hari sejak putusan diberitahukannya.
·Dalam 8 hari aanmaning/tegoran.
·Dalam 8 hari setelah sita eksekusi.

6.     SITA JAMINAN
·Sita jaminan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan psl 227 HIR/261 Rbg jo pasal 96 UU no. 2th 2004
·Jika barang yang akan disita berada pada wilayah hukum PHI lain, maka pelaksanaan sita didelegasikan ke PHI didalam wilayah barang tersebut terletak.
·Perlawanan atas sita tersebut diatas diajukan ke PHI yang melakukan penyitaan.
·Terhadap putusan atas perlawanan sita hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

7.     PEMERIKSAAN DENGAN ACARA CEPAT
Pengertian KEPENTINGAN MENDESAK dalam pasal 98 ayat (1) UU no. 2 th 2004 antara lain :
·PHK massal, terjadi huru hara yang mengganggu kepentingan produksi, keamanan danketertiban umum.
·Pengertian tanpa melalui prosedur pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 99 ayat (1)UU no. 2 th 2004 adalah sidang pemeriksaan tidak terikat pada acara perkara perdata umumnyaa.l. Tentang tenggang waktu pemanggilan, replik/duplik, dan hal-hal lain yang dapatmenghambat proses secara cepat.
·Persidangan perkara harus dilakukan pada hari kerja pertama setelah kedua belah pihakdipanggil dengan tata cara pemanggilan tercepat.

8.     PEMANGGILAN
·Pemanggilan pihak yang berperkara yang bertempat tinggal diluar wilayah hukum PN tempatkedudukan PHI, dapat didelegasi kepada PN ditempat tinggal / tempat kedudukan pihak yangdipanggil.
·Pemanggilan terhadap pihak yang bertempat tinggal / berkedudukan diluar negeri, dilakukan melalui Deplu.

9.     TUGAS KEJURUSITAAN
·Tugas-tugas kejurusitaan yang dalam undang-undang No. 2 tahun 2004 dilaksanakan oleh panitera pengganti, harus diartikan dilaksanakan oleh jurusita/jurusita pengganti Pengadilan Negeri yang ditugaskan pada PHI dengan surat keputusan khusus.

10. PUTUSAN SELA DAN PUTUSAN
·Pada persidangan pertama, nyata-nyata terbukti pengusaha tidak membayar upah, dan hak-hak lainnya pekerja / buruh yang dikenakan skorsing oleh pengusaha, maka hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan sela yang memberi perintah kepada pengusaha untuk membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja / buruh.
·Apabila selama persidangan berlangsung pengusaha tidak melaksanakan putusan sela tersebut,hakm ketua sidang memerintahkan sita jaminan terhadap harta milik pengusaha.
·Dalam hal perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam pasal 86 UU No. 2 maka PHI wajib memutus perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan tersebut dalam bentuk putusan sela.
·Putusan serta merta dapat dilakukan berpedoman pada pasal 180 HIR / 191 Rbg jo pasal 108 UUNo. 2 tahun 2004 tentang Peenyelesaian Perselisiahan Hubungan Industrial.
·Putusan PHI selain memuat ketentuan pada pasal 102 ayat (1) huruf g UU No. 2 tahun 2004 juga mencantumkan hari dan tanggal musyawarah majellis hakim.

11. UPAYA HUKUM
·Atas putusan PHI tidak bisa diajukan upaya hukum banding.
·Terhadap keputusan P4D yang diputus setelah diundangkannya UU No. 2 tahun 2004 sebelum tanggal 14 Januari 2006 (PHI beroperasi secara resmi) dapat dimintakan upaya hukum kasasi menurut cara-cara yang diatur dalam hukum acara Mahkamah Agung.
·Terhadap keputusan P4P yang diputus setelah diundangkannya UU No. 2 tahun 2004 sebelum tanggal 14 Januari 2006 (PHI beroperasi secara resmi) dapat dimintakan upya hukum PK menurut cara-cara yang diatur dalam acara Mahkamah Agung.

12. EKSEKUSI
·Eksekusi terhadap Perjanjian Bersama Bipartit, Mediasi dan Konsiliasi yang didaftarkan pada PHIdi tempat dibuatnya Perjanjian Bersama, dilakukanoleh PHI di wilayah Perjanjian Bersamatersebut didaftar.
·Eksekusi Perjanjian Bersama hanya dapat dilakukan setelah Perjanjian Bersama tersebut diflateksekusi oleh ketua PHI dengan memberi irah-irah
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
diatas Akte Perjanjian Bersama dan dibawah Perjanjian Bersama ditulis kata-kata:
“Perjanjian Bersama ini dapat dijalankan”.
kemudian dibubuhi tanggal dan ditanda tangani oleh ketua PHI setempat serta diberi stempel.

13. DISSENTING OPINION
Apabila terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) diantara majelis hakim maka pendapat hakim yang berbeda dimuat dalampertimbangan putusan.

II.HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIKETAHUI

A.    PENDAFTARAN PERJANJIAN BERSAMA (PB) :

1.Bipartit. (Pasal 7)
Wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada PHI diwilayah para pihak mengadakan PB.

2. Mediasi. (pasal 13)
Didaftar di PHI diwilayah hukum pihak-pihak mengadakan PB.

3.     Konsilisiasi. (pasal 23)
Didaftar di PHI diwilayah hukum pihak-pihak mengadakan PB.

B.    TUJUAN PENDAFTARAN PB :
Untuk mendapatkan AKTE BUKTI PENDAFTARAN PB.

C.    KEKUATAN AKTE BUKTI PENDAFTARAN PB ADALAH :

1.     Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi PB tersebut maka pihak yang dirugikandapatmemohon fiat eksekusi kepada Ketua PHI dengan melampirkan PB dan Akte Pendaftaran PB.
2.     Daya eksekutorial PB terletak pada pendaftaran PB yang dibuktikan dengan AKTE BUKTIPENDAFTARAN PB

PEMBATASAN WAKTU PEMERIKSAAN
·Pasal 103 UU no. 2 th 2004 mewajibkan majelis hakim memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari.
·Ketentuan ini menyebabkan para pihak/kuasa hukum yang berperkara di PHI benar-benar harusmempersiapkan segala sesutunya dengan cepat, teliti dan lengkap dan tidak ada kemungkinanmeminta pengunduran sidang yang cukup lama, karena setiap pengunduran sidang hanya palinglama 7 (tujuh) hari kerja.

ACARA PEMERIKSAAN CEPAT
·Pada pemeriksaan dengan acara cepat, tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian oleh keduabelah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
·Pada pemeriksaan dengan acara cepat tidak ada lagi proses pra persidangan, dengan demikian gugatan yang diajukan harus benar-benar sempurna dan telah memenuhi syarat-syarat formal yangdiharuskan.

PENGAJUAN MEMORI KASASI
·Pasal 112. menentukan : Sub Kepaniteraan PHI dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohinan kasasi harus sudahmenyampaikan berkas perkara kepada KMA.
·Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa memori kasasi dan kontra memori kasasi harus sudah diserahkan ke Panmud PHI dalam tenggang waktu 14 hari kerja.
Bandingkan dengan ketentuan pasal 46, 47 dan 48 UU no. 14 tahun 1985 jo UU no.5 th 2004tentang Mahkamah Agung yang mengatur tenggang waktu pengajuan kasasi ddan penyerahan memorikasasi serta kontra memori kasasi yaitu 14 hari + 14 hari dan 14 hari setelah menerima memori kasasi untuk pengajuan kontra memori kasasi.

C. KESIMPULAN
Keberadaan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang baru diharapkan dapat sedikit membantu pemulihan iklim investasi Indonesia. Hal ini juga disinggung dalam InstruksiPresiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, dimana salah satu kebijakan yang diambil adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah dan berkeadilan. Program yang akan dilakukan untuk itu adalah melaksanakan pelatihan bagi calonmediator, konsiliator, arbitrer dan Hakim Ad Hoc serta membuat sistem informasi yang berisikan berbagai keputusan tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dengan adanya sistem yang baru ini, timbul harapan akan terwujudnya kepastian hukum dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan proses yang cepat, tepat, adil dan murah sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dari para investor. Ketidakpastian dan multitafsir dalam peraturan bidang hubungan industrial sering kali menimbulkan konflik, perselisihan, dan pemogokan yang merugikan baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha.
Terlepas dari peraturan baru yang diharapkan dapat mengakomodir kelemahan dari peraturan yang lama, perlu diingat bahwa peraturan yang baik belum tentu menjamin benar-benar terwujudnya sistem yang baik ataupun hasil yang baik pula.Pada akhirnya, sistem yang baik harus ditunjang dengan Hakim-Hakim yang jujur, baik dan kompeten. Oleh karenanya mereka akan menduduki posisi yang sangat penting dalam kebangkitan bangsa ini. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial akan menjadisalah satulegal light house
(mercu suar hukum) bagi para pelaku ekonomi terutama investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, yangmenurut para pelaku ekonomi merupakan peraturan yang tidak ramah investasi dapat diuji diPengadilan tersebut. Untuk itu, posisi Hakim sebagai salah satu pembentuk hukum akan menjadi sangat strategis di sini.
Harapan-harapan itulah yang saat ini dititipkan pada Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial. Oleh karenanya dituntut kemampuan dari para Hakim untuk tidak hanya melihatUndang-Undang sebagai tulisan mati (dead letter rules), seorang Hakim tidak boleh bersikap terlalu formalistis, Hakim harus bersikap realistis untuk melihat realitas yang ada. Dengan masih kurang ramah atau kurang jelasnya peraturan ketenagakerjaan yang ada, maka analisis ekonomi ke depan (forward looking analysis)
akan memungkinkan para Hakim untuk tetap berpijak pada peraturan yangada, tetapi pada saat yang sama juga mengembangkannya seirama dengan strategi pemulihan ekonominasional. Itulah seninya, pencarian segi ekonomi di balik peraturan perundangan, tanpa mengorbankan kepastian hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar